| ||||
Korupsi masih menjadi penyakit yang tak tersembuhkan, meski reformasi di negara ini telah berjalan 13 tahun. Berbagai analisa menyebutkan bahwa upaya pemberantasan korupsi selama ini hanya berputar di wacana. Hal ini dinilai disebabkan banyak faktor. Ada yang berpendapat karena lemahnya pemimpin bangsa dan ada juga yang berpendapat lain. Perjalanan reformasi hingga 13 tahun belum mampu menghentikan penyakit yang menggerogoti bangsa, yakni korupsi. Pemberantasan korupsi masih berputar-putar dalam wacana dan minim aksi. Pemberantasan korupsi yang selalu didengungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, tidak pernah terbukti. Pemberantasan korupsi memang ada, tetapi sebatas wacana yang tidak pernah dibuktikan. Hal ini dipaparkan salah satu tokoh reformasi 1998 Amien Rais saat menjadi pembicara kunci seminar Refleksi 13 Tahun Masa Reformasi, di Gedung Joeang '45, Jakarta, kemarin. Pemberantasan korupsi, tukas mantan Ketua MPR RI itu, tidak bisa diselesaikan hanya dengan terus mengumbar wacana. Rakyat tidak butuh lagi omongan, tetapi tindakan konkret. Komitmen Presiden SBY harus dibuktikan dengan tindakan. Sekarang ini, antara omongan dan tindakan tidak sesuai. Mandeknya pemberantasan korupsi, lanjut dia, terjadi karena pemerintahan Presiden Yudhoyono tidak tegas mengusut kasus-kasus besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tidak pernah tuntas menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang diduga terkait dengan orang-orang kuat di Republik ini. Dalam kesempatan tersebut Amin Rais yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah ini mengkritik kinerja pemerintah. Dikatakannya,"Kasus Century dan mafia pajak makin gelap saja penyelesaiannya. KPK seperti tidak berdaya mengusut kasus-kasus korupsi besar dan hanya berurusan dengan kasus-kasus kecil. Kepolisian dan kejaksaan juga jangan hanya bersandiwara memberantas korupsi." Kalau bangsa ini benar-benar berkomitmen mau memberantas korupsi, harus dimulai dari pucuk pimpinan. Di tempat terpisah, budayawan Arswendo Atmowiloto menyayangkan lemahnya penegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi. Ia menilai letak masalah ada pada kepemimpinan SBY yang lemah. Seorang pemimpin itu harus selangkah di depan. Ia harus berani mengambil langkah. Repotnya, ini kan tidak ada. Jadi wajar saja kalau penanganan kasus korupsi mandek. Belum lagi kalau sudah bersentuhan dengan kepentingan politik partai. Ujarnya saat diskusi di Warung Daun, Jakarta. Namun, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana mengatakan Presiden Yudhoyono tetap berkomitmen memberantas korupsi. Ia menampik penilaian bahwa pemberantasan korupsi mandek karena ada campuran kepentingan politik. Denny menandaskan,"Saya dengar sendiri Presiden berkata kepada Pak Busyro Muqaddas (Ketua KPK) dan teman-teman dari KPK saat silaturahim di Istana 6 Mei lalu, bahwa hukum jangan dibawa ke politik. Sebaliknya politik jangan dibawa ke hukum. Sekalipun partai yang terlibat, silakan diproses. Presiden sangat menghormati independensi lembaga KPK." Data Transparency International menunjukkan angka indeks persepsi korupsi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tidak beranjak dari 2,8. Indeks yang terbentang dari 1 hingga 10 itu menunjukkan semakin besar angka indeks, semakin dinilai bersih sebuah negara. Peringatan 13 tahun reformasi juga diwarnai unjuk rasa di Jakarta dan Makassar. Para pengunjuk rasa menilai pemerintahan saat ini tidak memiliki komitmen yang jelas dalam memberantas korupsi. Sementara itu, tokoh lintas agama kembali menyatakan keprihatinan atas perjalanan bangsa bertepatan dengan peringatan HUT Ke-103 Kebangkitan Nasional pada 20 Mei. Mereka menilai saat ini negara di ambang kebangkrutan karena pemimpin kian tidak memiliki kepekaan terhadap krisis. Pernyataan itu dibacakan bergantian oleh Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mukti dan Sekjen PBNU M Imdadun Rahmat di Galeri Cipta Dua, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Hadir dalam acara itu Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Martinus Situmorang, mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Ketua Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia Andreas A Yewangoe, Biksu Sri Pannyavaro Mahathera (Buddha), Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa (Hindu), Tjhie Tjay Ing (Konghucu), Magnis Suseno (Katolik), serta tokoh muslim Salahuddin Wahid, Masdar Farid Mas'udi, dan Djohan Effendi. Dalam refleksi itu juga ditegaskan bahwa kondisi bangsa yang makin memprihatinkan membutuhkan pemimpin nasional yang berani menyelamatkan negara Pancasila guna mencegah ancaman kebangkrutan nasional. Mereka membeberkan sejumlah krisis yang masih saja lekat dengan bangsa ini, seperti kemiskinan, nilai moral yang dibusukkan karena korupsi, konflik, dan intoleransi agama yang menguat, hilangnya kepercayaan kepada pemimpin, kejahatan HAM yang tidak diusut tuntas, dan impunitas aparat khususnya militer yang bertali-temali dengan pebisnis nasional. Ahmad Syafii Maarif mengatakan soal utama dari segala krisis di Indonesia ialah matinya kesadaran nurani dan akal sehat para pemimpin. "Kita tidak mau bangsa ini bangkrut hanya karena pemimpinnya buta, tuli, mati nuraninya, dan tumpul akal sehatnya," katanya. Pendeta Yewangoe menambahkan, pemimpin yang tidak peka adalah pemimpin yang tidak membuka mata untuk melihat kenyataan dan tidak membuka telinga untuk mendengar. "Ketidakpekaan moral makin menjadi-jadi. Ada semacam kematian hati nurani dari pejabat publik," ujar Yewangoe. Tokoh agama juga mengeluarkan lima tuntutan kepada pejabat publik. Keprihatinan soal kondisi bangsa yang semakin buruk adalah hal wajar, mengingat selama ini kondisi negara tak kunjung membaik. Malah sebaliknya, kian hari kasus korupsi dan nepotisme malah merebak, mulai dari petinggi negara sampai para kader partai. Di sisi lain, pemerintah juga terkesan lamban dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan elit politik. Adapun kehidupan masyarakat kecil semakin hari kian buruk saja. Angka kemiskinan pun terus merangkak naik. Di tengah kondisi seperti ini pemerintah mengklaim berhasil mengurangi angka kemiskinan. Kekayaan negara yang disebutkan dalam undang-undang dasar sebagai milik rakyat ternyata raib entah kemana. Rakyat hanya mendapat sebagian kecil dari kekayaan ini. Sementara itu, reformasi untuk mengubah kondisi negara menjadi lebih baik ternyata malah diselewengkan. Pengorbanan untuk menegakkan reformasi juga sia-sia. Di tengah kondisi seperti ini sejumlah warga mengenang kembali kehidupan mereka di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Mereka menilai kondisi negara di zaman Soeharto lebih baik dari sekarang. Pekan lalu, Indo Barometer merilis hasil survei bertajuk "Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono". Ternyata, Soeharto menempati urutan pertama sebagai Presiden yang paling disukai responden. Survei yang melibatkan 1.200 orang itu dilakukan pada 25 April hingga 4 Mei. 36,54 persen memilih Soeharto sebagai presiden favoritnya, lalu Susilo Bambang Yudhoyono 20,9 persen. Berikutnya Soekarno (9,8 persen), Megawati (9,2 persen), B.J. Habibie (4,4 persen), dan Abdurrahman Wahid (4,4 persen). (IRIB/Micom ) |