BERSAMA DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI

Sabtu, 15 Oktober 2011

Belajar dari Spirit Hazare Buat Melawan Korupsi



Anna Hazare tak jadi mati karena korupsi. Hari Minggu dua pekan lalu, ia mengakhiri mogok makan yang telah dilakukannya selama 12 hari. Ia mengakhiri mogok makan setelah parlemen India, sehari sebelumnya, meluluskan tiga permintaan seputar penanganan korupsi di negeri itu. Salah satunya, segera dibentuk komisi antikorupsi.
 
Apa yang dilakukan Hazare menunjukkan bahwa sesungguhnya korupsi bisa dilawan, meski pemerintah dan parlemen enggan melakukannya
Kita--rakyat Indonesia--sebenarnya boleh sedikit bersyukur. Sejak 1999 kita sudah memiliki undang-undang antikorupsi dan mulai delapan tahun lalu sudah terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi

Lembaga dan undang-undang itu telah berhasil menjerat banyak koruptor. Walau korupsi masih menjalar di pemerintahan, kini jamak terdengar betapa para pejabat mengaku ngeri melakukan perbuatan kriminal itu. Di tengah keputusasaan kita terhadap kejaksaan dan kepolisian yang kinerjanya masih payah dalam menangani perkara korupsi, KPK masih bisa diandalkan.

Spirit Hazare harus kita tanamkan dengan cara menyokong dan memperkuat peran komisi antikorupsi. Bukan lantas melemahkannya sebagaimana kini secara sistematis dilakukan terutama oleh para politikus-legislator.

Mereka tentu menginginkan perkara korupsinya, atau kasus yang menyangkut patron mereka, tak disentuh hukum. Pelbagai usaha untuk memperlemah KPK--dari memidanakan sejumlah pemimpinnya hingga menyiapkan regulasi yang mengebiri kewenangan komisi--dilakukan. Ironisnya, pelemahan ini tidak hanya dilakukan oleh para koruptor dan politikus, tapi juga oleh sejumlah media yang memberi panggung kepada para koruptor.

Kita memang lebih maju dalam memberantas korupsi, tapi peringkat korupsi Indonesia masih lebih buruk ketimbang India. Negeri dengan populasi terbesar kedua di dunia itu berada di peringkat ke-70 (urutan pertama paling bersih, ke-149 terkorup). Sedangkan Indonesia berada di peringkat ke-88. Karena itu, perjuangan Hazare sangatlah penting dan tetap memberi inspirasi bagi kita. Kendati parlemen dan para pejabat pemerintah yang korup enggan meloloskan undang-undang antikorupsi yang lebih bergigi, mereka akhirnya tunduk kepada people power.

Perdana Menteri Manmohan Singh serta sejumlah politikus menyatakan simpati mereka dan berusaha mengambil jalan tengah. Bukan mustahil jika para elite politik di sana punya motif terselubung di balik simpati yang mereka tunjukkan terhadap Hazare. Mereka tak ingin terlihat memerangi pejuang antikorupsi ketika pemilihan umum negara bagian sudah dekat, yang dijadwalkan akhir tahun ini. 

Kita kerap geram terhadap perilaku korup para pejabat dan wakil rakyat di Tanah Air yang menggila. Hazare telah membuka mata kita: rakyat yang berkumpul di distrik kumuh pun bisa diandalkan untuk mendobrak korupsi. Langkah pertama yang dia lakukan adalah menyadarkan rakyat akan pentingnya perjuangan melawan korupsi. Indonesia jelas membutuhkan pemimpin yang bersih seperti Hazare. Tapi kita juga memerlukan rakyat yang bersih dan berani berperang melawan korupsi, apa pun risikonya. (IRIB/Tempointeraktif)

Remisi untuk Koruptor
Enak menjadi koruptor di negeri ini. Negara memperlakukan mereka sangat istimewa.
Pertama, hukuman di tingkat banding dan kasasi bukan semakin berat, melainkan malah semakin ringan. Kedua, di dalam penjara pun koruptor masih bisa membeli kemewahan fasilitas. Ketiga, koruptor mendapatkan remisi, pemotongan hukuman, berkali-kali.
Sedikitnya dua kali dalam setahun pemerintah memberi remisi kepada koruptor, yaitu pada saat memperingati Hari Kemerdekaan dan hari besar keagamaan. Penganugerahan remisi itu biasanya dilakukan dalam sebuah upacara resmi dan diliput televisi. 

Pada tahun ini, misalnya, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan, sebanyak 427 narapidana korupsi mendapat remisi dan 19 orang di antaranya langsung bebas. Begitu juga saat memperingati Idul Fitri, sebanyak 243 koruptor mendapat remisi dan delapan di antaranya langsung bebas. 

Selain mendapatkan remisi yang sifatnya umum itu, para terpidana korupsi masih bisa mendapat remisi tambahan. Kalau rajin menjadi donor darah empat kali setahun, menjadi ketua kelompok atau pemuka napi, terpidana korupsi bisa memperoleh tambahan remisi satu bulan sepuluh hari. 

Fakta tak terbantahkan bahwa tak seorang pun koruptor di Republik ini yang menjalani hukuman penjara secara penuh. Itu pula sebabnya hukuman untuk korupror tidak pernah memberi efek jera. 

Suara publik sampai kering mengecam pemberian remisi kepada koruptor yang menafikan efek jera. Akan tetapi, pemerintah menutup telinga. Dengan gagah perkasa, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar bahkan beralasan bahwa remisi merupakan hak narapidana, termasuk koruptor. 

Tidak hanya itu. Patrialis Akbar mengharapkan pemberian remisi tidak dinilai sebagai kemanjaan bagi narapidana, tetapi harus dipahami dari sisi rasa kemanusiaan. Hal itu memperlihatkan watak pemerintah yang lebih berempati kepada koruptor di balik jeruji besi daripada rakyat yang dimiskinkan koruptor. 

Sejauh ini pemerintah mengacu kepada ketentuan umum bahwa siapa yang berkelakuan baik selama di penjara akan mendapatkan remisi. Mestinya, pelaku kejahatan luar biasa seperti koruptor tidak diberi remisi. Korban korupsi ialah publik. Koruptor telah menghancurkan harkat dan martabat bangsa sehingga tidak pantas mendapatkan remisi. 

Tidak sulit mengubah aturan remisi koruptor. Tidak perlu mengubah undang-undang, cukup memperbaiki isi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, perkara yang mudah itu menjadi sulit karena pucuk tertinggi pemerintahan tidak memiliki kemauan politik yang hebat untuk memberantas korupsi. (IRIB/MIOL)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar