BERSAMA DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI

Sabtu, 15 Oktober 2011

Maraknya Korupsi di Indonesia

Wednesday, 15 June 2011 12:18   
Partai Demokrat dan Korupsi
Kasus yang muncul dari Partai Demokrat sepertinya tak kunjung habis. Setelah Muhammad Nazaruddin, mantan bendahara umum, partai yang berkuasa ini dihadapkan pada kasus lain. Kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilaporkan akan memeriksa Muhammad Nasir, anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Demokrat.

Mereaksi hal ini, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustofa meminta Komisi Pemberantasan Korupsi tidak asal memeriksa Muhammad Nasir hanya karena desas-desus. "Harus ada fakta dan data yang melandasi kenapa dia harus dipanggil," katanya di gedung DPR, Jakarta, Selasa 14 Juni 2011 kemarin.

Menurut dia, partainya belum memperbincangkan dugaan keterlibatan Nasir dalam sejumlah kasus dugaan korupsi yang disebut-sebut juga terkait dengan bekas Bendahara Umum Demokrat, Muhammad Nazaruddin. "Keterlibatannya seperti apa, belum jelas," ucapnya.

Sekretaris Fraksi Demokrat di DPR ini juga menyatakan tak mengetahui kasus dugaan korupsi dalam proyek di Kementerian Pendidikan Nasional. "Kami tak tahu. Yang kami tahu hanya soal wisma atlet itu," ujar Saan.

Namun fraksinya mempersilakan KPK memeriksa Nasir, yang juga anggota Badan Anggaran dan Komisi Hukum DPR. Saan menginginkan KPK menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. "Kami berharap itu tak hanya berdasarkan desakan, tapi ada fakta yang jelas," katanya.

Saan menanggapi desakan sejumlah pegiat antikorupsi yang menginginkan KPK memeriksa Nasir, adik Nazaruddin, dalam kasus suap proyek wisma atlet di Palembang atau dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan. "Siapa pun yang dianggap mengetahui atau dekat harus diperiksa," kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zainal Arifin Mochtar, dua hari lalu.

Nasir menolak mengomentari dugaan keterkaitannya dengan kasus Nazaruddin.
Nasir pernah menjadi komisaris dan pemilik saham PT Mahkota Negara dan PT Anugrah Nusantara Jaya, dua perusahaan pemenang tender proyek senilai Rp 142 miliar itu. Nazaruddin-Nasir juga pendiri, pemegang saham, dan pengurus PT Anak Negeri, PT Mahkota Negara, serta PT Anugrah Nusantara.

Pada Jumat pekan lalu, Nazaruddin mangkir dari panggilan KPK sebagai saksi kasus di Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007 itu. Ia dipanggil sebagai pemilik PT Anugrah Nusantara. Senin lalu, ia juga tak menghadiri pemeriksaan di KPK dengan alasan masih sakit di Singapura. Sedianya, ia diperiksa sebagai mantan Komisaris PT Anak Negeri dalam kasus dugaan suap Rp 3,2 miliar yang terkait dengan proyek wisma atlet SEA Games XXVI di Jakabaring, Palembang.

KPK melayangkan surat panggilan kedua kepada Nazaruddin pada Senin lalu agar hadir pada Kamis mendatang. "Kemarin surat panggilannya dikirim," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., kemarin. Surat dialamatkan ke kediaman di Jalan Pejaten Barat, Jakarta Selatan, kelurahan setempat, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Fraksi Demokrat DPR. Jika Nazar membangkang lagi, KPK bakal mengirim surat panggilan ketiga disertai penjemputan paksa.

Nazaruddin memastikan tak akan hadir. "Kamis, pengacara saya akan hadir di KPK jam 10.00," katanya via pesan pendek tadi malam. Pengacara akan menjelaskan alasan ketidakhadirannya tanpa menyebutkan namanya. Ia mengaku sedang berobat jalan. "Nanti, kalau sudah sembuh total, saya pasti pulang," jawabnya.

Politikus Senayan Terlibat Korupsi Pengadaan Alat Kesehatan
Isu lain dari Indonesia, Kesaksian Kepala Biro Umum Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Ngatiyo Ngayoko, memperkuat dugaan keterlibatan para politikus Senayan dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan.

Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin, Ngatiyo mengatakan pernah membelikan tanah tanpa bangunan untuk para anggota Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009.

"Saya beli kaveling di Parung, Bogor, atas perintah Soetedjo," kata Ngatiyo saat bersaksi dalam sidang dengan terdakwa Soetedjo Yuwono, bekas Sekretaris Kementerian Koordinator Kesra di zaman Aburizal Bakrie.

Menurut Ngatiyo, tanah itu dijatahkan untuk anggota Fraksi Golkar Imam Supardi dan Achmad Hafiz Zawawi, serta politikus PDI Perjuangan Rudianto Tjen. Tanah dibeli dengan duit hasil pencairan 19 lembar Mandiri Traveler's Cheque (MTC) bernilai total Rp 475 juta.
Mendengar kesaksian Ngatiyo, ketua majelis hakim Tjokorda Rai Suamba langsung bertanya kepada jaksa, "Jadi, ini mau dijadikan terdakwa?" Jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi, Muh Rum, hanya tersenyum dan memilih tidak menjawab.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan pada 31 Mei lalu, Rum juga menyebutkan tujuh politikus Senayan menerima cek suap dari PT Bersaudara, perusahaan rekanan yang ditunjuk Kemenkokesra.

Di samping tiga politikus yang disebut Ngatiyo, Rum menyebutkan Izedrik Emir Moeis (PDI Perjuangan), Hasanudin Said (Demokrat), Musfihin Dahlan (Golkar), dan Marian A. Baramuli (Golkar).

Dari ketujuh politikus itu, tinggal Emir Moeis, Rudianto Tjen, dan Mariani Baramuli yang masih bertahan di DPR. Emir Moeis, kini Ketua Komisi XI DPR, membantah pernah menerima cek suap dalam pengadaan alat kesehatan. "Saya enggak pernah terima apa pun dari Pak Soetedjo, atau yang berkaitan dengan Depkes," kata dia melalui telepon tadi malam.
Menurut Emir, pembahasan proyek alat kesehatan pada 2006 berlangsung di Komisi IX. Saat itu Emir mengaku aktif di Panitia Anggaran DPR. "Saya enggak ikut campur masalah Komisi," ujar dia.

Anggota Komisi II DPR, Mariani Baramuli, juga membantah terlibat. "Saya tidak pernah dikasih," kata Mariani melalui layanan pesan pendek tadi malam.
Bantahan juga datang dari Hafiz Zawawi, yang kini menjadi terdakwa kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. "Itu semua tidak benar," kata Hafiz di sela sidang tadi malam. "Nanti di persidangan akan saya jelaskan."

Sebelumnya, Musfihin Dahlan juga membantah mengenal Soetedjo ataupun PT Bersaudara. "Saya tidak mengerti," kata Musfihin. Dia mengaku sudah menjelaskan kepada KPK bahwa dirinya tak memiliki hubungan dengan Soetedjo.

Kasus yang menjadikan Soetedjo sebagai terdakwa ini bermula dari penunjukan langsung (tanpa tender) PT Bersaudara sebagai penyedia alat kesehatan penanggulangan flu burung pada 2006. PT Bersaudara mendapatkan proyek dengan nilai kontrak sebesar Rp 98,6 miliar, atau Rp 88,3 miliar setelah dipotong pajak. Faktanya, alat kesehatan yang dibeli hanya bernilai Rp 48 miliar. Negara pun diperkirakan merugi sekitar Rp 36,3 miliar. (IRIB/Tempointeraktif)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar