BERSAMA DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI

Minggu, 31 Juli 2011

KORUPSI DAN SUAP ALA NEGERI PAMAN SAM


Palsukan Faktur, Pentagon Gelapkan Dana Perang
Pengadilan Amerika Serikat mengumumkan,  Departemen Pertahanan (Pentagon) melakukan pemalsuan faktur pembayaran sepuluh kali lipat untuk setiap barang yang dijual ke departemen ini terkait Irak. Aksi ini membuat Pentagon meraih keuntungan sangat besar, namun merugikan negara.
 
"Mitra Pentagon terkadang menulis faktor barang yang mereka jual kepada departemen ini hingga 128 kali lipat dari harga sebenarnya. Pentagon sendiri kemudian membayar sesuai dengan faktur tersebut." Demikian sesuai dengan laporan Associated Press.

Laporan yang mengutip Stuart Brown, jaksa khusus AS di bidang rekonstruksi Irak menambahkan, perusahaan ANHAM LLC, mitra AS yang berpusat di sekitar Washington mengizinkan anak perusahaannya di Irak untuk menulis faktur setiap pembelian oleh Pentagon beberapa kali lipat dari harga sebenarnya.

Kontrak antara ANHAM LLC dan Pentagon di Irak serta Afghanistan senilai empat miliar dolar. Penyidik kejaksaan AS kini tengah menyelidiki seluruh perincian kontrak tersebut. Ini bukan skandal baru soal penggelapan dana oleh Pentagon di perang di seluruh dunia.

Sebelumnya aksi serupa AS di Afghanistan dan pemanfaatan situasi perang oleh Washington untuk mengumpulkan kekayaan kawasan melalui penggelapan juga terbongkar.

Para Pejabat AS Disogok untuk Dukung Teroris
Kelompok munafikin yang disebut dengan istilah Organisasi Mujahidin Khalq (MKO) membayar puluhan ribu dolar dengan tujuan menghapus nama kelompok ini dari daftar teroris. 

The Financial Times, hari Jumat (29/7/2011) melaporkan, "Dalam sebuah kampanye mendukung MKO, puluhan mantan pejabat politik telah dibayar puluhan ribu dolar untuk berbicara mencabut nama MKO dari daftar teroris dalam acara yang diselenggarakan oleh pendukung organisasi teroris di AS."

Sejumlah tokoh terkemuka di AS seperti John Bolton, George W. Bush, Howard Dean, Rudy Giuliani, Jim Jones, Wesley Clark, Tom Ridge disebut-sebut sebagai pihak-pihak yang berbicara pada acara tersebut.

Mantan Ketua Komite Hubungan Luar Negeri DPR dari Demokrat, Lee Hamilton, dan Jaksa Agung di masa pemerintahan Bush, Michael Mukasey, mengungkapkan bahwa mereka telah dibayar untuk berbicara pada acara tersebut. 

Kepala Staf Gabungan di masa pemerintahan Clinton, Jenderal Hugh Shelton, , juga menegaskan bahwa ia bersama para pejabat lainnya, termasuk Louis Freeh, mantan direktur Badan Intelijen AS (CIA), dan Jenderal James Conway, Mantan Komandan Korps Marinir, dibayar untuk berbicara pada sebuah konferensi terkait MKO di Washington. 

Menurut laporan tersebut, MKO menawarkan uang sogokan berkisar, 20 ribu USD hingga 100 ribu per pidato. Dana itu belum termasuk biaya perjalanan. 

Mantan Gubernur Pennsylvania Ed Rendell, menyatakan bahwa dirinya menerima 20 ribu USD untuk pidato yang berdurasi 11 menit, sementara seorang pejabat AS lainnya mengatakan, ia ditawari 30 ribu Usd untuk hadir acara tersebut. Dilaporkan pula, MKO juga menyewa jasa-jasa lobi seperti Akin, Gump, Strauss, Hauer & Feld untuk membujuk anggota Kongres AS supaya mendukung organisasi teroris ini. 

MKO terdaftar sebagai organisasi teroris. Organisasi ini juga bertanggung jawab atas tindakan teror dan kekerasan terhadap warga sipil Iran dan para pejabat negara ini. Pada tahun 1997, Amerika Serikat menyatakan MKO sebagai sebuah organisasi teroris asing. (IRIB/PressTV/AR/IRNA/AP/MF)


Rabu, 27 Juli 2011

Korupsi Perspektif Buddhis



Oleh : Willy Yandi Wijaya

Salah satu permasalahan yang sampai saat ini masih membelenggu masyarakat Indonesia adalah masalah korupsi. Permasalahan ini telah ada sejak lama dan telah berakar kuat pada masyarakat kita. Namun, bukan berarti kita hanya menutup mata terhadap masalah ini sebagai jalan keluarnya. Berikut ini akan dibahas permasalahan korupsi dipandang dari perspektif buddhis.

Pengertian Korupsi
Sebelum memulai pembahasan korupsi menurut perspektif buddhis, hendaknya kita semua sepakat dahulu dengan definisi korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang Negara (perusahaan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Jadi pembahasan topik korupsi didasari dengan definisi menurut KBBI.

Sebab terjadinya korupsi
Dasar seseorang melakukan korupsi adalah keserakahan (lobha) dan berakar pada kebodohan-batin (moha). Jika seseorang memiliki pandangan yang benar, niscaya ia tidak akan bertindak bodoh. Ia akan menyadari bahwa segala sesuatu itu, baik itu materi maupun non-materi adalah tidak kekal atau selalu berubah-ubah (anicca). Dengan menyadari hukum alam tersebut, siapa pun akan berpikir lebih jernih dan nyata sehingga tidak akan bertindak bodoh.

Walaupun bersumber pada diri sendiri, lingkungan juga mempunyai andil yang sangat besar dalam pembentukan karakteristik seorang manusia. Lingkungan yang buruk—banyaknya korupsi— akan menarik jatuh seseorang ke jurang kejahatan jikalau ia tidak memiliki kebijaksanaan (panna atau prajna).

Lingkungan buruk yang dimaksudkan di sini terutama ditekankan pada pergaulan dengan teman-teman yang kurang baik—dalam hal ini korupsi— yang mungkin saja bisa memengaruhi seseorang menjadi buruk juga, walaupun pada akhirnya kembali kepada dirinya sendiri. Biasanya banyak yang terpengaruh oleh lingkungan, jadi berhati-hatilah dan selalu bijaksana.

Melawan perkembangan korupsi
Salah satu Aturan-moralitas Buddhis (sila) dalam Lima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila) yang perlu dihindari oleh umat Buddha adalah menahan diri dari mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya. Mengambil barang-barang yang tidak diberikan pemiliknya termasuk antara lain: mencuri, merampok, atau pun korupsi.

Korupsi bisa dikatakan melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua Lima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila), dikarenakan memenuhi syarat-syarat pelanggaran sila ke-2, adanya subjek (pelaku), keinginan mencuri, objek (Negara, perusahaan, masyarakat, dsb) dan kejadian nyata perpindahan kepemilikan (hasil yang diambil).

Korupsi termasuk melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke dua—mengambil barang yang tidak diberikan pemiliknya— dan akan mengkondisikan seseorang melanggar  Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 buddhis (menahan diri dari ucapan yang tidak benar atau berbohong) dikarenakan ketika seseorang melakukan korupsi, ia telah ‘mencuri’ dan akan mengondisikannya berbohong untuk menyembunyikan perbuatannya. Jadi korupsi bisa membuat seseorang melanggar  Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-2 dan Aturan-moralitas Buddhis (sila) ke-4 dari Lima Aturan-moralitas Buddhis (panca-sila). Sehingga menurut Buddhisme, korupsi merupakan sesuatu yang sebaiknya tidak dilakukan karena telah melanggar Aturan-moralitas Buddhis (sila) .

Di dalam Anguttara Nikaya IV:285, Buddha menjelaskan 4 macam Ditthadhammikatthapayojana (hal-hal yang berguna pada saat sekarang), yang intinya menganjurkan seseorang untuk rajin dan bersemangat dalam mencari nafkah dengan cara yang benar, dengan pergaulan yang baik sehingga ia tidak mudah terjerumus ke lingkungan yang buruk. Dengan sikap hidup yang penuh semangat dan rajin, tentunya seseorang tidak akan mudah untuk melakukan tindakan korupsi. Kalau orang mau gampangnya aja dalam mencari kekayaan, biasanya segala cara akan digunakan, seperti korupsi misalnya. Jadi mulailah giat untuk bekerja dan selalu bersemangat, sehingga kita tidak mudah berbuat hal-hal seperti itu.

Selain sikap hidup yang rajin dan bersemangat, seseorang juga dituntut mempunyai rasa malu untuk berbuat jahat (Hiri) dan rasa takut akan akibat perbuatan jahat (Otapa). Dengan memiliki rasa malu dan rasa takut untuk berbuat yang tidak baik, seseorang akan berpikir dua kali untuk melakukan tindakan yang buruk—korupsi. Untuk menjaga pikiran yang penuh dengan keserakahan, perlu dikembangkan kebijaksanaan diri sehingga seseorang tidak mudah gegabah dan salah dalam bertindak.

Sang Buddha menjelaskan dalam Majjhima Nikaya 117, bahwa mata pencaharian akan menjadi tidak benar ketika mata pencahariannya dimanfaatkan untuk:
  1. Menipu (kuhana),
  2. Membual (lapana),
  3. Memeras (nemittakata),
  4. Menggelapkan (nippesikata),
  5. Merampok agar mendapat hasil yang banyak (labha)

Di dalam sutta (ucapan Sang Buddha) tersebut Sang Buddha menjelaskan bahwasanya cara-cara kita dalam mencari kekayaan tidak boleh seperti itu. Korupsi bisa dikatakan telah memenuhi kelima hal tersebut di atas, sehingga perbuatan yang dilakukannya tersebut bisa jadi akan mencemarkan profesi yang ditekuninya dan mungkin berakibat ketidakpercayaan orang-orang terhadap profesi tersebut.

Selain dari dalam diri sendiri, yang perlu dikembangkan untuk menahan laju perkembangan korupsi adalah dengan memberikan pandangan yang benar kepada orang lain dan membuat interaksi yang positif dimulai dari diri sendiri. Dengan demikian akan terbentuk lingkungan yang kondusif yang bebas dari sikap hidup korupsi, sehingga akan meningkatkan rasa malu dan rasa takut dalam berbuat korupsi.

Akibat dari korupsi
Sekarang akan ditinjau akibat-akibat dari korupsi sehingga membuat kita semua semakin waspada agar tidak mudah terpengaruh dan jatuh ke dalam lingkungan yang buruk (korupsi).
Akibat dari tindakan korupsi dapat dilihat dari dua aspek, antara lain:
1.    Sang pelaku (orang yang melakukan korupsi), akan berakibat:
a.    Rasa bersalah atau takut karena telah berbuat jahat
b.    Rasa malu karena telah bertindak tidak benar

2.    Lingkungan (Di luar pelaku, bisa keluarga, masyarakat,dsb), yang berakibat:
a.    Rasa malu keluarga si pelaku korupsi
b.    Kerugian secara materi bagi Negara, perusahaan, atau masyarakat

Jika ditinjau dari dari aspek Buddhisme, semua perbuatan pasti akan menerima akibatnya. Si pelaku korupsi akan menerima akibat karma (karma artinya perbuatan yang disertai niat) sesuai perbuatannya. Dan sesuai hukum paticcasamuppada, bahwa segala sesuatu itu saling bergantungan, akan membuat akibat-akibat yang buruk bagi keluarga si pelaku maupun bagi masyarakat luas dan Negara.

Maka sebelum kita semua makin terjerumus atau akan terjerumus, hendaknya kita berpikir apa akibatnya tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi lingkungan/masyarakat luas.

Kesimpulan
Sebab terjadinya korupsi bisa ditinjau dari dua aspek, yaitu:
  1. Aspek dari dalam     : Lobha (keserakahan) bersumber pada Moha (kebodohan batin), malas bekerja
  2. Aspek dari luar         : Lingkungan, pergaulan yang buruk (lingkungannya penuh korupsi)

Cara penanggulangan korupsi:
  1. Aspek dari dalam     :Malu dan takut untuk berbuat jahat (hiri-otapa), bijaksana, bersemangat dan rajin dalam bekerja
  2. Aspek dari luar         :Bangun lingkungan yang kondusif yang bebas dari korupsi didasari dari pengembangan diri sendiri dan interaksi yang positif dan aktif.

Akibat dari tindakan korupsi, bisa menyebabkan kerugian tidak hanya bagi diri sendiri, namun juga bagi masyarakat luas. Dan berpikirlah dengan bijaksana disertai cinta kasih sebelum terlanjur berbuat hal tersebut.

“Hendaknya setiap orang menempatkan dirinya sendiri terlebih dahulu pada jalan yang lurus/benar, kemudian ajarilah orang-orang lain”  ( Willyyandi's Blog )


Korupsi dalam Perspektif Budaya dan Syariat Islam

Oleh Masdar F. Mas’udi

Azaz Good Governance
Sebagai pembawa amanat Allah, amanat keadilan dan kemaslahatan segenap rakyat, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan ketertiban umum, melindungi keamanan seluruh rakyat, dan menegakkan keadilan begi kemaslahatan semua pihak, tanpa membedakan warna kulit, suku bangsa, golongan maupun keyakinan agamanya. Allah berfirman: “Inna Allah ya-murukum antu-addu al-amanaat ilaa ahliha wa idza hakamtum baina al-naas an tahkumuu bi al-‘adl…” [“sesungguhnya Allah menyuruh kalian manyampaikan amanat kepada yang berhak dan apabila kalian memerintah maka memerintahlah berdasarkan dan dengan keadilan….” (an-Nisa: 59)

Kaidah fiqh juga mengatakan “Tasharruf al imam ‘ala al-raiyyah manuth bi al-mashlahah” [“Seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu bersumber pada kepentingan mereka” (Qowaid al-fiqh)

Acuan dasar dari kepentingan rakyat adalah hak-hak mereka yang, dalam Syariat Islam, sekurang-kurangnya meliputi 5 (lim a) hak induk: 1) perlindungan hidup dan keselamatan jiwa-raga (hifdz al-nafs); 2) perlindungan hak meyakini dan menjalankan keyakinan agamanya (hifdz al-dien); 3) perlindungan keselamatan, perkembangan dan pendayagunaan akal budi (hifdz al-‘aql); 4) perlindungan hak atas harta benda atau kekayaan yang diperoleh secara sah (hifdz al-maal); 5) perlindungan atas kehormatan dan hak hak berketurunan (hifdz al-‘irdl wa al-nasl). [Al-Ghozali, Al-Mustashfa, juz II, h. 14].

Keadilan Bagi si Lemah
Untuk penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, pemerintah harus secara khusus memberdayakan dan melindungi hak-hak rakyat yang lemah terhadap eksploitasi dan agresi kelompok kuat. Negara yang tidak menunjukkan komitmen pada keadilan dan perlindungan bagi rakyat yang lemah, dalam pandangan Islam adalah batil. Allah berfirman: “Ara-aita al-ladizy yukadzib bi al diin, fa dzalika al-ladyi yadu’ul yatiim, wa laa yakhuddlu ‘ala tha’aam al-miskiin…” [“ Tahukah engkau siapa (orang/negara) yang mendustakan agama? Merekalah yang tidak perduli terhadap anak yatim dan tidak secara sungguh-sungguh memecahkan persoalan makan (:kebutuhan pokok hidup) bagi orang-orang miskin…….”(Al-maa’un: 1-3)].

Dan Rasulullah SAW bersabda : “Layuqaddis allah ummat la yu’tha dla’ifuha haqqah min syadiidiha hgaira muta’ta”. [“Allah tidak akan melindungi suatu masyarakat di mana rakyat yang lemah tidak bisa memperoleh kembali hak-haknya dari yang kuat kecuali dengan kekerasan atau penjarahan” (HR. Al-Thabarany)].

Peranan perlindungan bagi yang lemah terhadap pihak yang kuat ini, ditegaskan secara jelas oleh khalifah yang pertama Abu Bakar r.a dalam pidato pelantikannya: “"Alaa inn al-qawiyy fiikum huwa al-dla'iif 'indiy hatta a’akhudz minhu al-haqq, wa al-dla'iif fiikum 'indiy huwa al-qawiyy hatta a’akhudz minhu al-haqq"  [“…Rakyat lemah di mata saya adalah kuat di mana saya harus mengembalikan hak-hak yang sah bagi mereka; sementara rakyat yang kuat di mata saya adalah lemah sehingga saya berani mengambil hak-hak (orang lain, terutama yang lemah) yang pada mereka…”]



Uang Negara adalah Milik Allah
Pajak dalam doktrin Islam disejajarkan dengan institusi zakat. Pemungutan dilakukan atas nama Allah. Hak negara untuk memungut pajak dibatasi syarat amanat allah bahwa hasilnya hanya digunakan untuk kemaslahatan umum dan pemberdayaan kelompok lemah. Allah memberi kewenangan pada pemerintah untuk, atas nama Allah, memungut pajak dari mereka yang mampu sebagai sumber utama keuangan negara. (Dalam istilah teknis syariat, pajak atas warga negara yang muslim disebut “zakat”, atas warga non muslim disebut “jizyah”). Allah berfirman: “Alam ya’lamuu ann allah huwa yaqbabal al-taubat ‘an ibaadih wa ya’khuidz al-shodaqoh…” [“ Tidak tahukah mereka bahwa yang berhak menerima taubat manusia hanyalah Allah semata, demikian pula yang berhak memungut pajaknya (At-Taubah: 104).

Karena Allah tidak memungut pajaknya sendiri, maka pemerintahlah yang diberi wewenang untuk itu: “Khudz min amwaalihim shadaqah tuthahhiruhum wa tuzakkiihim biha…” [“Ambillah dari harta mereka sedekah ( “pajak” dalam bahasa sekularnya; zakat dalam bahasa agamanya) untuk mensucikan mereka dan mengembangkan kehidupan mereka …..” (At-Taubah: 103)].

Dalam agama Islam pemungutan pajak juga mempunyai tujuan sosial. Sebagaimana dikatakan oleh Al-qur’an: “Kaila yakuuna daulatah bain al-aghniyaa minkum…” [“ ….agar rizki Allah itu tidak hanya berputar-putar di kalangan orang-orang kaya saja” (Al-Hasyr: 7)].

Dengan demikian, dalam pandangan Islam, uang negara yang bersumber pada pajak pada hakikatnya adalah uang Allah yang diamanatkan pada negara untuk ditasharufkan (dibagi-bagikan) sebesar-besarnya bagi kemaslahatan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi apapun. Setiap rupiah dari uang pajak (juga setiap titik kekuasaan yang dibiayai dengan uang pajak) harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat nanti) dan dipertangggungjawabkan kepada rakyat (di dunia).

Rasulullah bersabda kepada para penguasa: “….A’thuhum haqqahum fa inn allah saailahum ‘amma istar’ahum”. [“….Berikanlah hak-hak mereka (rakyat), kerena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap penguasa perihal hak-hak rakyatnya (HR. Bukhari; 3196)].
Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda: “Maa min ‘abd yastar’iih allah ra’iyyah yamuut yauma yamuut wa huwa ghasy li ra’iyyatih illa harram allah ‘alaih al-jannah” [“ Tidak seorang manusia  yang diberi amanat untuk memimpin rakyat kemudian ia mati dalam keadaan mencurangi rakyat kecuali diharamkan kepadanya sorga” (HR.Muslim; 203)].

Sekali lagi, amat mendesak untuk diingatkan bahwa suatu pembacaan harfiah teks yang disusun hampir satu setengah milenium yang lalu akan menyesatkan ajaran agama. Misalnya, bila dikatakan pajak adalah bukan zakat, oleh karena itu tidak dilarang mengutip komisi atau mencuri dari hasil pungutan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agama menghalalkan penyelewengan dana yang diperoleh dari pemungutan pajak. Kalaupun pajak disamakan dengan zakat, maka itu hanya sekitar 12% dari anggaran belanja negara. Apakah itu kemudian dapat diartikan bahwa pejabat boleh saja mencuri uang dari 88% APBN?

Delapan Sasaran Uang Negara
Dalam pandangan Islam uang pajak adalah uang Allah SWT yang diamanatkan kepada negara untuk ditasarufkan sejujur-jujurnya sesuai petunjuk-Nya. Pajak harus dibelanjakan untuk kemaslahatan segenap rakyat. Yang harus diberi prioritas adalah kaum fakir dan miskin tanpa membedakan agama, ras ataupun suku, Allah SWT telah berfirman: “ Innama al-shodaqatat lil al-fuqaraa wal al-masaakin wa al-‘amilin ‘alaih wa al-muallafah quluubuhum wa fi al-riqaab wa al-ghorimin wa fi sabilillahwa aibn sabiil; faridlah min allah ‘aliim hakiim..” [ “Sungguh  segala macam sedekah (yang secara mengikat dipungut pemerintah, yakni “pajak” adalah untuk kepentingan: i) kaum fakir, ii) kaum miskin, iii) amilin pajak, iv) orang yang dalam proses penyadaran kembali, v) kaum tertindas, vi) yang tertindih utang, vii) kepentingan umum dan penegakan keadilan, viii) anak jalanan….sesuatu ketetapan dari Allah. Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana (At-Taubah: 60)].

Rasulullah SAW juga bersabda kepada Mu’adz bin Jabal selaku gubernur di Yaman: “A’limhum ann allah iftaradla ‘alaihim shadaqat tu-khadz min aghniyaa-ihim fa turadd li fuqaraaihim…” [Beritahukan kepada rakyat bahwa Allah mewajibkan sedekah (zakat.pajak) yang diambil dari mereka yang mampu untuk diberikan kepada mereka yang tidak mampu (fuqara, sebagai prioritas)…”(HR. Muslim)].

Tentunya, konsep ashnaf delapan tersebut harus didefenisikan kembali cakupan dan wilayahnya sesuai dengan kondisi masyarakat yang terus berkembang. Definisi asnaf delapan yang dirumuskan berdasarkan pengalaman empirik zaman Nabi 24 abad yang lalu tentunya tidak lagi sepenuhnya memadai dengan kompleksitas sosial yang ada di hari ini.

Pemerintah dan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR/DPRD secara moral keagamaan harus mengacukan penganggaran belanja negara dalam APBN/APBD pada asnaf delapan di atas dengan definisi dan cakupan yang disesuaikan (dikontekstualkan) dengan situasi dan kondisi  masyarakat yang terus berkembang. Dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan modern dewasa ini asnaf delapan dapat dijabarkan demikian:

Fuqara (kaum fakir); rakyat papa dengan penghasilan jauh dari kebutuhan. Pengentasan kemiskinan ini harus menjadi prioritas utama penganggaran negara/pemerintah baik yang bersifat konsumtif (jaminan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan) maupun yang produktif untuk meningkatkan tingkat sosial ekonomi mereka selanjutnya.

Masakin (kaum miskin); orang-orang yang penghasilannya sedikit lebih baik daripada kaum fakir tapi masih di bawah kebutuhan wajar. Penganggarannya bisa seperti fuqara, konsumtif dan terutama produktif.

Amilin, yakni kebutuhan rutin (gaji operasional) departemen keuangan dan aparat departemen teknis sebagai pemasok barang-barang publik (public goods).

Mu’allaf Qulubuhum (orang-orang yang tengah dijinakkan hatinya). Dalam konteks negara-kebangsaan, sektor ini diarahkan pada program rehabilitas sosial terhadap para narapidana, para pengguna obat-obat terlarang (narkoba), atau masyarakat terasing yang masih hidup di hutan-hutan.

Riqab (budak); yakni upaya pembebasan masyarakat tertindas, seperti kaum buruh yang teraniaya, atau masyarakat terjajah yang tengah berjuang memerdekakan dirinya.

Gharimin (yang terbelit utang); dana untuk sektor ini dapat dialokasikan untuk, misalnya, membebaskan utang para petani yang terkena puso atau pedagang yang bangkrut karena faktor-faktor yang benar-benar berada di luar kemampuan mereka.

Sabilillah (kemaslahatan umum); baik yang fisik (misalnya jalan, bangunan-bangunan publik, dan semua sarana umum yang diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak) maupun yang nonfisik ( biaya pertahanan-keamanan negara/rakyat, ketertiban masyarakat; penegakan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan-seni-kebudayaan, dan semua sektor yang kemaslahatannya kembali pada kepentingan umat manusia).

Ibnu Sabil (anak jalanan); dulu yang dimaksud adalah musafir yang kehabisan bekal; untuk konteks sekarang mereka adalah para pengungsi, baik karena bencana alam atau bencana politik.

Kewajiban Kontrol Sosial
Seluruh  rakyat, langsung maupun melalui wakil-wakilnya, para ulama dan pemukanya wajib melakukan kontrol sosial (amar ma’ruf dan nahi munkar) secara terus-menerus. Pengawasan ini wajib dilakukan di semua tingkat, dari desa sampai kota, agar tidak serupiah pun uang pajak –yang merupakan uang Allah/rakyat– diselewengkan untuk kepentingan pribadi penguasa atau disalahgunakan untuk hal-hal yang  merugikan rakyat dan melawan tuntutan keadilan.

Rasulullah SAW bersabda: “Man ra-aa minkum munkar fal yughayyirhu bi yadih, wa in lam yastathi’ fa bi lisaanih wa in lam yastathi’ fabi qalbih, fa dzaalika adl’af al-imaan” [“Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangan; jika tidak mampu, dengan lisan; jika tidak juga mampu, dengan hati. Posisi akhir itulah selemah-lemah iman (HR. Bukhari Muslim)].

Dalam kitab Adab al- Dunya wa al-dien al-Mawarariy dikatakan: “la tazal ummatiy fi khair tahta yad allah wa fii kanfih maa lam yumaal qurraa-uha umaraa-aha, wa lam yuzakk shulahaa-uha fujjara, wa lam yumaari akhyaaraha asyraaraha; fa idzaa fa’aluu dzaalik rafa’a ‘anhum yadah tsumma sallath ‘alaihim jabaabiratah, fasaa-a hum suu al-‘al adzab wa dlarabahum bi al- faaqah fa al-faqr wa mala-a qulubahum ru’ba.” [“Umat ini senantiasa dalam kebaikan  di bawah tangan Allah dan perlindungan-Nya selama para ulamanya tidak condong pada penguasanya,  yang saleh tidak menjustifikasi yang korup, dan yang baik tidak hanya mengiyakan yang culas. Jika hal itu terjadi tangan Allah akan segera ditarik dari atas mereka kemudian dikuasakan atas mereka penguasa yang angkara murka, lalu ditimpakan atas mereka siksa yang buruk, dan mereka akan didera kelaparan dan kafakiran serta hati mereka pun penuh rasa ketakutan.”]

Demikianlah pesan moral yang diamanatkan oleh Islam dalam konsepsinya tentang zakat. Amanat ini akan mudah terpungkiri apabila tidak dibatinkan dalam kesadaran setiap warga negara beriman. Hendaknya ia menggugah rasa tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkan tata kehidupan bernegara yang melindungi hak-hak semua warga, terutama yang paling lemah, tanpa diskriminasi atas dasar  suku, ras, agama maupun kelamin. Di situlah letak misi utama Islam bila benar-benar berniat menebarkan rahmat kesemestaan-Nya.

Pada akhirnya kita semua tahu betapa kompleksnya kehidupan manusia dan perbuatannya. Tidak ada teori tunggal yang dapat mengungkap hakikat tindakannya, juga praktek korupsi yang marak dalam kehidupan masyarakat kita. Juga tidak ada satu resep untuk mengobati dan menyembuhkannya. Berbagai jalan harus ditempuh dengan penuh kesadaran bahwa satu dan yang lain saling melengkapi dan memerlukan. Yang paling penting, di atas segalanya, adalah kesungguhan mengikhtiarkannya.

Walladziina jahadu fiina lanahdiyannahum subulana; wa annalloha la ma’al muhsinin– hanya mereka yang sungguh-sungguh, yang akan kami tunjukkan  jalannya, dan Allah akan selalu menyertai orang-orang yang berbuat kebajikan (Al-Ankabut: 69).