BERSAMA DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI

Sabtu, 15 Oktober 2011

Mana Yang Enak, Era Soeharto Atau Pasca Reformasi ?

Sunday, 22 May 2011 09:31    PDF Print E-mail
Korupsi masih menjadi penyakit yang tak tersembuhkan, meski reformasi di negara ini telah berjalan 13 tahun. Berbagai analisa menyebutkan bahwa upaya pemberantasan korupsi selama ini hanya berputar di wacana. Hal ini dinilai disebabkan banyak faktor. Ada yang berpendapat karena lemahnya pemimpin bangsa dan ada juga yang berpendapat lain.
Perjalanan reformasi hingga 13 tahun belum mampu menghentikan penyakit yang menggerogoti bangsa, yakni korupsi. Pemberantasan korupsi masih berputar-putar dalam wacana dan minim aksi.

Pemberantasan korupsi yang selalu didengungkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, tidak pernah terbukti. Pemberantasan korupsi memang ada, tetapi sebatas wacana yang tidak pernah dibuktikan. Hal ini dipaparkan salah satu tokoh reformasi 1998 Amien Rais saat menjadi pembicara kunci seminar Refleksi 13 Tahun Masa Reformasi, di Gedung Joeang '45, Jakarta, kemarin.

Pemberantasan korupsi, tukas mantan Ketua MPR RI itu, tidak bisa diselesaikan hanya dengan terus mengumbar wacana. Rakyat tidak butuh lagi omongan, tetapi tindakan konkret. Komitmen Presiden SBY harus dibuktikan dengan tindakan. Sekarang ini, antara omongan dan tindakan tidak sesuai.

Mandeknya pemberantasan korupsi, lanjut dia, terjadi karena pemerintahan Presiden Yudhoyono tidak tegas mengusut kasus-kasus besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun tidak pernah tuntas menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang diduga terkait dengan orang-orang kuat di Republik ini.

Dalam kesempatan tersebut Amin Rais yang juga mantan Ketua PP Muhammadiyah ini mengkritik kinerja pemerintah. Dikatakannya,"Kasus Century dan mafia pajak makin gelap saja penyelesaiannya. KPK seperti tidak berdaya mengusut kasus-kasus korupsi besar dan hanya berurusan dengan kasus-kasus kecil. Kepolisian dan kejaksaan juga jangan hanya bersandiwara memberantas korupsi."

Kalau bangsa ini benar-benar berkomitmen mau memberantas korupsi, harus dimulai dari pucuk pimpinan.

Di tempat terpisah, budayawan Arswendo Atmowiloto menyayangkan lemahnya penegakan hukum dalam penanganan kasus korupsi. Ia menilai letak masalah ada pada kepemimpinan SBY yang lemah.

Seorang pemimpin itu harus selangkah di depan. Ia harus berani mengambil langkah. Repotnya, ini kan tidak ada. Jadi wajar saja kalau penanganan kasus korupsi mandek. Belum lagi kalau sudah bersentuhan dengan kepentingan politik partai. Ujarnya saat diskusi di Warung Daun, Jakarta.

Namun, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana mengatakan Presiden Yudhoyono tetap berkomitmen memberantas korupsi. Ia menampik penilaian bahwa pemberantasan korupsi mandek karena ada campuran kepentingan politik.

Denny menandaskan,"Saya dengar sendiri Presiden berkata kepada Pak Busyro Muqaddas (Ketua KPK) dan teman-teman dari KPK saat silaturahim di Istana 6 Mei lalu, bahwa hukum jangan dibawa ke politik. Sebaliknya politik jangan dibawa ke hukum. Sekalipun partai yang terlibat, silakan diproses. Presiden sangat menghormati independensi lembaga KPK."

Data Transparency International menunjukkan angka indeks persepsi korupsi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir tidak beranjak dari 2,8. Indeks yang terbentang dari 1 hingga 10 itu menunjukkan semakin besar angka indeks, semakin dinilai bersih sebuah negara.


Peringatan 13 tahun reformasi juga diwarnai unjuk rasa di Jakarta dan Makassar. Para pengunjuk rasa menilai pemerintahan saat ini tidak memiliki komitmen yang jelas dalam memberantas korupsi.

Sementara itu, tokoh lintas agama kembali menyatakan keprihatinan atas perjalanan bangsa bertepatan dengan peringatan HUT Ke-103 Kebangkitan Nasional pada 20 Mei. Mereka menilai saat ini negara di ambang kebangkrutan karena pemimpin kian tidak memiliki kepekaan terhadap krisis.

Pernyataan itu dibacakan bergantian oleh Sekretaris PP Muhammadiyah Abdul Mukti dan Sekjen PBNU M Imdadun Rahmat di Galeri Cipta Dua, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Hadir dalam acara itu Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr Martinus Situmorang, mantan Ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif, Ketua Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia Andreas A Yewangoe, Biksu Sri Pannyavaro Mahathera (Buddha), Ida Pedande Sebali Tianyar Arimbawa (Hindu), Tjhie Tjay Ing (Konghucu), Magnis Suseno (Katolik), serta tokoh muslim Salahuddin Wahid, Masdar Farid Mas'udi, dan Djohan Effendi.

Dalam refleksi itu juga ditegaskan bahwa kondisi bangsa yang makin memprihatinkan membutuhkan pemimpin nasional yang berani menyelamatkan negara Pancasila guna mencegah ancaman kebangkrutan nasional. Mereka membeberkan sejumlah krisis yang masih saja lekat dengan bangsa ini, seperti kemiskinan, nilai moral yang dibusukkan karena korupsi, konflik, dan intoleransi agama yang menguat, hilangnya kepercayaan kepada pemimpin, kejahatan HAM yang tidak diusut tuntas, dan impunitas aparat khususnya militer yang bertali-temali dengan pebisnis nasional.

Ahmad Syafii Maarif mengatakan soal utama dari segala krisis di Indonesia ialah matinya kesadaran nurani dan akal sehat para pemimpin. "Kita tidak mau bangsa ini bangkrut hanya karena pemimpinnya buta, tuli, mati nuraninya, dan tumpul akal sehatnya," katanya.
Pendeta Yewangoe menambahkan, pemimpin yang tidak peka adalah pemimpin yang tidak membuka mata untuk melihat kenyataan dan tidak membuka telinga untuk mendengar. "Ketidakpekaan moral makin menjadi-jadi. Ada semacam kematian hati nurani dari pejabat publik," ujar Yewangoe. Tokoh agama juga mengeluarkan lima tuntutan kepada pejabat publik.

Keprihatinan soal kondisi bangsa yang semakin buruk adalah hal wajar, mengingat selama ini kondisi negara tak kunjung membaik. Malah sebaliknya, kian hari kasus korupsi dan nepotisme malah merebak, mulai dari petinggi negara sampai para kader partai. Di sisi lain, pemerintah juga terkesan lamban dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan elit politik.

Adapun kehidupan masyarakat kecil semakin hari kian buruk saja. Angka kemiskinan pun terus merangkak naik. Di tengah kondisi seperti ini pemerintah mengklaim berhasil mengurangi angka kemiskinan. Kekayaan negara yang disebutkan dalam undang-undang dasar sebagai milik rakyat ternyata raib entah kemana. Rakyat hanya mendapat sebagian kecil dari kekayaan ini.

Sementara itu, reformasi untuk mengubah kondisi negara menjadi lebih baik ternyata malah diselewengkan. Pengorbanan untuk menegakkan reformasi juga sia-sia. Di tengah kondisi seperti ini sejumlah warga mengenang kembali kehidupan mereka di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Mereka menilai kondisi negara di zaman Soeharto lebih baik dari sekarang.

Pekan lalu, Indo Barometer merilis hasil survei bertajuk "Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono". Ternyata, Soeharto menempati urutan pertama sebagai Presiden yang paling disukai responden.

Survei yang melibatkan 1.200 orang itu dilakukan pada 25 April hingga 4 Mei. 36,54 persen memilih Soeharto sebagai presiden favoritnya, lalu Susilo Bambang Yudhoyono 20,9 persen. Berikutnya Soekarno (9,8 persen), Megawati (9,2 persen), B.J. Habibie (4,4 persen), dan Abdurrahman Wahid (4,4 persen). (IRIB/Micom )

Maraknya Korupsi di Indonesia

Wednesday, 15 June 2011 12:18   
Partai Demokrat dan Korupsi
Kasus yang muncul dari Partai Demokrat sepertinya tak kunjung habis. Setelah Muhammad Nazaruddin, mantan bendahara umum, partai yang berkuasa ini dihadapkan pada kasus lain. Kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilaporkan akan memeriksa Muhammad Nasir, anggota Komisi Hukum DPR dari Partai Demokrat.

Mereaksi hal ini, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustofa meminta Komisi Pemberantasan Korupsi tidak asal memeriksa Muhammad Nasir hanya karena desas-desus. "Harus ada fakta dan data yang melandasi kenapa dia harus dipanggil," katanya di gedung DPR, Jakarta, Selasa 14 Juni 2011 kemarin.

Menurut dia, partainya belum memperbincangkan dugaan keterlibatan Nasir dalam sejumlah kasus dugaan korupsi yang disebut-sebut juga terkait dengan bekas Bendahara Umum Demokrat, Muhammad Nazaruddin. "Keterlibatannya seperti apa, belum jelas," ucapnya.

Sekretaris Fraksi Demokrat di DPR ini juga menyatakan tak mengetahui kasus dugaan korupsi dalam proyek di Kementerian Pendidikan Nasional. "Kami tak tahu. Yang kami tahu hanya soal wisma atlet itu," ujar Saan.

Namun fraksinya mempersilakan KPK memeriksa Nasir, yang juga anggota Badan Anggaran dan Komisi Hukum DPR. Saan menginginkan KPK menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. "Kami berharap itu tak hanya berdasarkan desakan, tapi ada fakta yang jelas," katanya.

Saan menanggapi desakan sejumlah pegiat antikorupsi yang menginginkan KPK memeriksa Nasir, adik Nazaruddin, dalam kasus suap proyek wisma atlet di Palembang atau dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan. "Siapa pun yang dianggap mengetahui atau dekat harus diperiksa," kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zainal Arifin Mochtar, dua hari lalu.

Nasir menolak mengomentari dugaan keterkaitannya dengan kasus Nazaruddin.
Nasir pernah menjadi komisaris dan pemilik saham PT Mahkota Negara dan PT Anugrah Nusantara Jaya, dua perusahaan pemenang tender proyek senilai Rp 142 miliar itu. Nazaruddin-Nasir juga pendiri, pemegang saham, dan pengurus PT Anak Negeri, PT Mahkota Negara, serta PT Anugrah Nusantara.

Pada Jumat pekan lalu, Nazaruddin mangkir dari panggilan KPK sebagai saksi kasus di Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007 itu. Ia dipanggil sebagai pemilik PT Anugrah Nusantara. Senin lalu, ia juga tak menghadiri pemeriksaan di KPK dengan alasan masih sakit di Singapura. Sedianya, ia diperiksa sebagai mantan Komisaris PT Anak Negeri dalam kasus dugaan suap Rp 3,2 miliar yang terkait dengan proyek wisma atlet SEA Games XXVI di Jakabaring, Palembang.

KPK melayangkan surat panggilan kedua kepada Nazaruddin pada Senin lalu agar hadir pada Kamis mendatang. "Kemarin surat panggilannya dikirim," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., kemarin. Surat dialamatkan ke kediaman di Jalan Pejaten Barat, Jakarta Selatan, kelurahan setempat, Sekretariat Jenderal DPR, dan Sekretariat Fraksi Demokrat DPR. Jika Nazar membangkang lagi, KPK bakal mengirim surat panggilan ketiga disertai penjemputan paksa.

Nazaruddin memastikan tak akan hadir. "Kamis, pengacara saya akan hadir di KPK jam 10.00," katanya via pesan pendek tadi malam. Pengacara akan menjelaskan alasan ketidakhadirannya tanpa menyebutkan namanya. Ia mengaku sedang berobat jalan. "Nanti, kalau sudah sembuh total, saya pasti pulang," jawabnya.

Politikus Senayan Terlibat Korupsi Pengadaan Alat Kesehatan
Isu lain dari Indonesia, Kesaksian Kepala Biro Umum Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Ngatiyo Ngayoko, memperkuat dugaan keterlibatan para politikus Senayan dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan.

Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kemarin, Ngatiyo mengatakan pernah membelikan tanah tanpa bangunan untuk para anggota Panitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009.

"Saya beli kaveling di Parung, Bogor, atas perintah Soetedjo," kata Ngatiyo saat bersaksi dalam sidang dengan terdakwa Soetedjo Yuwono, bekas Sekretaris Kementerian Koordinator Kesra di zaman Aburizal Bakrie.

Menurut Ngatiyo, tanah itu dijatahkan untuk anggota Fraksi Golkar Imam Supardi dan Achmad Hafiz Zawawi, serta politikus PDI Perjuangan Rudianto Tjen. Tanah dibeli dengan duit hasil pencairan 19 lembar Mandiri Traveler's Cheque (MTC) bernilai total Rp 475 juta.
Mendengar kesaksian Ngatiyo, ketua majelis hakim Tjokorda Rai Suamba langsung bertanya kepada jaksa, "Jadi, ini mau dijadikan terdakwa?" Jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi, Muh Rum, hanya tersenyum dan memilih tidak menjawab.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan pada 31 Mei lalu, Rum juga menyebutkan tujuh politikus Senayan menerima cek suap dari PT Bersaudara, perusahaan rekanan yang ditunjuk Kemenkokesra.

Di samping tiga politikus yang disebut Ngatiyo, Rum menyebutkan Izedrik Emir Moeis (PDI Perjuangan), Hasanudin Said (Demokrat), Musfihin Dahlan (Golkar), dan Marian A. Baramuli (Golkar).

Dari ketujuh politikus itu, tinggal Emir Moeis, Rudianto Tjen, dan Mariani Baramuli yang masih bertahan di DPR. Emir Moeis, kini Ketua Komisi XI DPR, membantah pernah menerima cek suap dalam pengadaan alat kesehatan. "Saya enggak pernah terima apa pun dari Pak Soetedjo, atau yang berkaitan dengan Depkes," kata dia melalui telepon tadi malam.
Menurut Emir, pembahasan proyek alat kesehatan pada 2006 berlangsung di Komisi IX. Saat itu Emir mengaku aktif di Panitia Anggaran DPR. "Saya enggak ikut campur masalah Komisi," ujar dia.

Anggota Komisi II DPR, Mariani Baramuli, juga membantah terlibat. "Saya tidak pernah dikasih," kata Mariani melalui layanan pesan pendek tadi malam.
Bantahan juga datang dari Hafiz Zawawi, yang kini menjadi terdakwa kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. "Itu semua tidak benar," kata Hafiz di sela sidang tadi malam. "Nanti di persidangan akan saya jelaskan."

Sebelumnya, Musfihin Dahlan juga membantah mengenal Soetedjo ataupun PT Bersaudara. "Saya tidak mengerti," kata Musfihin. Dia mengaku sudah menjelaskan kepada KPK bahwa dirinya tak memiliki hubungan dengan Soetedjo.

Kasus yang menjadikan Soetedjo sebagai terdakwa ini bermula dari penunjukan langsung (tanpa tender) PT Bersaudara sebagai penyedia alat kesehatan penanggulangan flu burung pada 2006. PT Bersaudara mendapatkan proyek dengan nilai kontrak sebesar Rp 98,6 miliar, atau Rp 88,3 miliar setelah dipotong pajak. Faktanya, alat kesehatan yang dibeli hanya bernilai Rp 48 miliar. Negara pun diperkirakan merugi sekitar Rp 36,3 miliar. (IRIB/Tempointeraktif)

Belajar dari Spirit Hazare Buat Melawan Korupsi



Anna Hazare tak jadi mati karena korupsi. Hari Minggu dua pekan lalu, ia mengakhiri mogok makan yang telah dilakukannya selama 12 hari. Ia mengakhiri mogok makan setelah parlemen India, sehari sebelumnya, meluluskan tiga permintaan seputar penanganan korupsi di negeri itu. Salah satunya, segera dibentuk komisi antikorupsi.
 
Apa yang dilakukan Hazare menunjukkan bahwa sesungguhnya korupsi bisa dilawan, meski pemerintah dan parlemen enggan melakukannya
Kita--rakyat Indonesia--sebenarnya boleh sedikit bersyukur. Sejak 1999 kita sudah memiliki undang-undang antikorupsi dan mulai delapan tahun lalu sudah terbentuk Komisi Pemberantasan Korupsi

Lembaga dan undang-undang itu telah berhasil menjerat banyak koruptor. Walau korupsi masih menjalar di pemerintahan, kini jamak terdengar betapa para pejabat mengaku ngeri melakukan perbuatan kriminal itu. Di tengah keputusasaan kita terhadap kejaksaan dan kepolisian yang kinerjanya masih payah dalam menangani perkara korupsi, KPK masih bisa diandalkan.

Spirit Hazare harus kita tanamkan dengan cara menyokong dan memperkuat peran komisi antikorupsi. Bukan lantas melemahkannya sebagaimana kini secara sistematis dilakukan terutama oleh para politikus-legislator.

Mereka tentu menginginkan perkara korupsinya, atau kasus yang menyangkut patron mereka, tak disentuh hukum. Pelbagai usaha untuk memperlemah KPK--dari memidanakan sejumlah pemimpinnya hingga menyiapkan regulasi yang mengebiri kewenangan komisi--dilakukan. Ironisnya, pelemahan ini tidak hanya dilakukan oleh para koruptor dan politikus, tapi juga oleh sejumlah media yang memberi panggung kepada para koruptor.

Kita memang lebih maju dalam memberantas korupsi, tapi peringkat korupsi Indonesia masih lebih buruk ketimbang India. Negeri dengan populasi terbesar kedua di dunia itu berada di peringkat ke-70 (urutan pertama paling bersih, ke-149 terkorup). Sedangkan Indonesia berada di peringkat ke-88. Karena itu, perjuangan Hazare sangatlah penting dan tetap memberi inspirasi bagi kita. Kendati parlemen dan para pejabat pemerintah yang korup enggan meloloskan undang-undang antikorupsi yang lebih bergigi, mereka akhirnya tunduk kepada people power.

Perdana Menteri Manmohan Singh serta sejumlah politikus menyatakan simpati mereka dan berusaha mengambil jalan tengah. Bukan mustahil jika para elite politik di sana punya motif terselubung di balik simpati yang mereka tunjukkan terhadap Hazare. Mereka tak ingin terlihat memerangi pejuang antikorupsi ketika pemilihan umum negara bagian sudah dekat, yang dijadwalkan akhir tahun ini. 

Kita kerap geram terhadap perilaku korup para pejabat dan wakil rakyat di Tanah Air yang menggila. Hazare telah membuka mata kita: rakyat yang berkumpul di distrik kumuh pun bisa diandalkan untuk mendobrak korupsi. Langkah pertama yang dia lakukan adalah menyadarkan rakyat akan pentingnya perjuangan melawan korupsi. Indonesia jelas membutuhkan pemimpin yang bersih seperti Hazare. Tapi kita juga memerlukan rakyat yang bersih dan berani berperang melawan korupsi, apa pun risikonya. (IRIB/Tempointeraktif)

Remisi untuk Koruptor
Enak menjadi koruptor di negeri ini. Negara memperlakukan mereka sangat istimewa.
Pertama, hukuman di tingkat banding dan kasasi bukan semakin berat, melainkan malah semakin ringan. Kedua, di dalam penjara pun koruptor masih bisa membeli kemewahan fasilitas. Ketiga, koruptor mendapatkan remisi, pemotongan hukuman, berkali-kali.
Sedikitnya dua kali dalam setahun pemerintah memberi remisi kepada koruptor, yaitu pada saat memperingati Hari Kemerdekaan dan hari besar keagamaan. Penganugerahan remisi itu biasanya dilakukan dalam sebuah upacara resmi dan diliput televisi. 

Pada tahun ini, misalnya, dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan, sebanyak 427 narapidana korupsi mendapat remisi dan 19 orang di antaranya langsung bebas. Begitu juga saat memperingati Idul Fitri, sebanyak 243 koruptor mendapat remisi dan delapan di antaranya langsung bebas. 

Selain mendapatkan remisi yang sifatnya umum itu, para terpidana korupsi masih bisa mendapat remisi tambahan. Kalau rajin menjadi donor darah empat kali setahun, menjadi ketua kelompok atau pemuka napi, terpidana korupsi bisa memperoleh tambahan remisi satu bulan sepuluh hari. 

Fakta tak terbantahkan bahwa tak seorang pun koruptor di Republik ini yang menjalani hukuman penjara secara penuh. Itu pula sebabnya hukuman untuk korupror tidak pernah memberi efek jera. 

Suara publik sampai kering mengecam pemberian remisi kepada koruptor yang menafikan efek jera. Akan tetapi, pemerintah menutup telinga. Dengan gagah perkasa, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar bahkan beralasan bahwa remisi merupakan hak narapidana, termasuk koruptor. 

Tidak hanya itu. Patrialis Akbar mengharapkan pemberian remisi tidak dinilai sebagai kemanjaan bagi narapidana, tetapi harus dipahami dari sisi rasa kemanusiaan. Hal itu memperlihatkan watak pemerintah yang lebih berempati kepada koruptor di balik jeruji besi daripada rakyat yang dimiskinkan koruptor. 

Sejauh ini pemerintah mengacu kepada ketentuan umum bahwa siapa yang berkelakuan baik selama di penjara akan mendapatkan remisi. Mestinya, pelaku kejahatan luar biasa seperti koruptor tidak diberi remisi. Korban korupsi ialah publik. Koruptor telah menghancurkan harkat dan martabat bangsa sehingga tidak pantas mendapatkan remisi. 

Tidak sulit mengubah aturan remisi koruptor. Tidak perlu mengubah undang-undang, cukup memperbaiki isi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Namun, perkara yang mudah itu menjadi sulit karena pucuk tertinggi pemerintahan tidak memiliki kemauan politik yang hebat untuk memberantas korupsi. (IRIB/MIOL)

Rabu, 05 Oktober 2011

Berlusconi Terbukti Suap Seorang Pengusaha Italia

Kasus korupsi yang mendera Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi kembali terkuak dengan terbuktinya pemberian suap oleh Berlusconi kepada seorang pengusaha negara ini dalam jumlah besar. 

Uang suap tersebut sebagai imbalan kesaksian palsu di pengadilan.
 
Menurut laporan Fars News mengutip kantor berita Italia, Berlusconi memberikan banyak kemudahan kepada Gianpaolo Tarantini dengan imbalan ia mengingkari bahwa perdana menteri memberi uang kepada perempuan jalanan untuk menghadiri pesta pribadinya.

Gianpaolo Tarantini dituding menerima uang dari Berlusconi sebesar 30 ribu Euro atau sekitar 41 ribu Dolar untuk mengirim perempuan jalanan ke pesta pribadi perdana menteri. Tarantini juga berharap dengan ulahnya ini dapat meneken kontrak dengan keuntungan tinggi.

Sepertinya kasus ini akan membuat Berlusconi diinterogasi secara penuh. Perdana Menteri Italia ini terus didera dengan berbagai kasus hukum dan salah satunya adalah dakwaan memberikan uang kepada Karima El Mahroug sebagai imbalan dari hubugan gelapnya.

Berlusconi juga dituding menyalahgunakan jabatannya untuk membebaskan al-Mahroug dari penjara karena ditangkap dengan dakwaan mencuri. Menurut sumber ini recananya sidang kasus korupsi Berlusconi akan digelar tiga Oktober. (IRIB/Fars/MF)

Senin, 03 Oktober 2011

Akibat Korupsi di Bank, Amerika dilanda Demonstrasi





Seorang pengamat ekonomi AS, Max Keiser menilai gerakan protes yang melanda Amerika akhir-akhir ini akibat ketidakpuasan warga AS terhadap meluasnya praktek korupsi di dalam sistem perbankan. 
 
Keiser dalam wawancaranya dengan Press TV menjelaskan bahwa gerakan "Duduki Wall Street" terbentuk guna memprotes sistem perbankan global yang berlandaskan korupsi dan pengumpulan kekayaan.

Keiser juga menegaskan bahwa gerakan tersebut bukan anti-kapitalisme, namun bertujuan untuk inversi kapitalisme. Oleh sebab itu alat-alat kapitalisme berada di tangan rakyat ,tetapi kekayaan hanya dibagi untuk segelintir manusia di dunia.

Gerakan "Duduki Wall Street" dimulai guna memprotes kondisi ekonomi dan korupsi dalam sistem pemerintahan Amerika. Aksi protes tersebut bermula dari kota New York kemudian merembet ke kota-kota Amerika yang lain, seperti Boston, Chicago dan San Francisco.
 
Saat ini, pengangguran yang tinggi dan defisit anggaran Amerika telah menekan kehidupan rakyat negara ini. Hubungan perusahaan-perusahaan swasta dengan para anggota legislator Amerika membuat marah rakyat negeri Paman Sam ini. (IRIB/RA/MF)