BERSAMA DALAM MENCEGAH DAN MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI

Rabu, 27 Juli 2011

Korupsi dalam Perspektif Budaya dan Syariat Islam

Oleh Masdar F. Mas’udi

Azaz Good Governance
Sebagai pembawa amanat Allah, amanat keadilan dan kemaslahatan segenap rakyat, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan ketertiban umum, melindungi keamanan seluruh rakyat, dan menegakkan keadilan begi kemaslahatan semua pihak, tanpa membedakan warna kulit, suku bangsa, golongan maupun keyakinan agamanya. Allah berfirman: “Inna Allah ya-murukum antu-addu al-amanaat ilaa ahliha wa idza hakamtum baina al-naas an tahkumuu bi al-‘adl…” [“sesungguhnya Allah menyuruh kalian manyampaikan amanat kepada yang berhak dan apabila kalian memerintah maka memerintahlah berdasarkan dan dengan keadilan….” (an-Nisa: 59)

Kaidah fiqh juga mengatakan “Tasharruf al imam ‘ala al-raiyyah manuth bi al-mashlahah” [“Seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu bersumber pada kepentingan mereka” (Qowaid al-fiqh)

Acuan dasar dari kepentingan rakyat adalah hak-hak mereka yang, dalam Syariat Islam, sekurang-kurangnya meliputi 5 (lim a) hak induk: 1) perlindungan hidup dan keselamatan jiwa-raga (hifdz al-nafs); 2) perlindungan hak meyakini dan menjalankan keyakinan agamanya (hifdz al-dien); 3) perlindungan keselamatan, perkembangan dan pendayagunaan akal budi (hifdz al-‘aql); 4) perlindungan hak atas harta benda atau kekayaan yang diperoleh secara sah (hifdz al-maal); 5) perlindungan atas kehormatan dan hak hak berketurunan (hifdz al-‘irdl wa al-nasl). [Al-Ghozali, Al-Mustashfa, juz II, h. 14].

Keadilan Bagi si Lemah
Untuk penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, pemerintah harus secara khusus memberdayakan dan melindungi hak-hak rakyat yang lemah terhadap eksploitasi dan agresi kelompok kuat. Negara yang tidak menunjukkan komitmen pada keadilan dan perlindungan bagi rakyat yang lemah, dalam pandangan Islam adalah batil. Allah berfirman: “Ara-aita al-ladizy yukadzib bi al diin, fa dzalika al-ladyi yadu’ul yatiim, wa laa yakhuddlu ‘ala tha’aam al-miskiin…” [“ Tahukah engkau siapa (orang/negara) yang mendustakan agama? Merekalah yang tidak perduli terhadap anak yatim dan tidak secara sungguh-sungguh memecahkan persoalan makan (:kebutuhan pokok hidup) bagi orang-orang miskin…….”(Al-maa’un: 1-3)].

Dan Rasulullah SAW bersabda : “Layuqaddis allah ummat la yu’tha dla’ifuha haqqah min syadiidiha hgaira muta’ta”. [“Allah tidak akan melindungi suatu masyarakat di mana rakyat yang lemah tidak bisa memperoleh kembali hak-haknya dari yang kuat kecuali dengan kekerasan atau penjarahan” (HR. Al-Thabarany)].

Peranan perlindungan bagi yang lemah terhadap pihak yang kuat ini, ditegaskan secara jelas oleh khalifah yang pertama Abu Bakar r.a dalam pidato pelantikannya: “"Alaa inn al-qawiyy fiikum huwa al-dla'iif 'indiy hatta a’akhudz minhu al-haqq, wa al-dla'iif fiikum 'indiy huwa al-qawiyy hatta a’akhudz minhu al-haqq"  [“…Rakyat lemah di mata saya adalah kuat di mana saya harus mengembalikan hak-hak yang sah bagi mereka; sementara rakyat yang kuat di mata saya adalah lemah sehingga saya berani mengambil hak-hak (orang lain, terutama yang lemah) yang pada mereka…”]



Uang Negara adalah Milik Allah
Pajak dalam doktrin Islam disejajarkan dengan institusi zakat. Pemungutan dilakukan atas nama Allah. Hak negara untuk memungut pajak dibatasi syarat amanat allah bahwa hasilnya hanya digunakan untuk kemaslahatan umum dan pemberdayaan kelompok lemah. Allah memberi kewenangan pada pemerintah untuk, atas nama Allah, memungut pajak dari mereka yang mampu sebagai sumber utama keuangan negara. (Dalam istilah teknis syariat, pajak atas warga negara yang muslim disebut “zakat”, atas warga non muslim disebut “jizyah”). Allah berfirman: “Alam ya’lamuu ann allah huwa yaqbabal al-taubat ‘an ibaadih wa ya’khuidz al-shodaqoh…” [“ Tidak tahukah mereka bahwa yang berhak menerima taubat manusia hanyalah Allah semata, demikian pula yang berhak memungut pajaknya (At-Taubah: 104).

Karena Allah tidak memungut pajaknya sendiri, maka pemerintahlah yang diberi wewenang untuk itu: “Khudz min amwaalihim shadaqah tuthahhiruhum wa tuzakkiihim biha…” [“Ambillah dari harta mereka sedekah ( “pajak” dalam bahasa sekularnya; zakat dalam bahasa agamanya) untuk mensucikan mereka dan mengembangkan kehidupan mereka …..” (At-Taubah: 103)].

Dalam agama Islam pemungutan pajak juga mempunyai tujuan sosial. Sebagaimana dikatakan oleh Al-qur’an: “Kaila yakuuna daulatah bain al-aghniyaa minkum…” [“ ….agar rizki Allah itu tidak hanya berputar-putar di kalangan orang-orang kaya saja” (Al-Hasyr: 7)].

Dengan demikian, dalam pandangan Islam, uang negara yang bersumber pada pajak pada hakikatnya adalah uang Allah yang diamanatkan pada negara untuk ditasharufkan (dibagi-bagikan) sebesar-besarnya bagi kemaslahatan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi apapun. Setiap rupiah dari uang pajak (juga setiap titik kekuasaan yang dibiayai dengan uang pajak) harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat nanti) dan dipertangggungjawabkan kepada rakyat (di dunia).

Rasulullah bersabda kepada para penguasa: “….A’thuhum haqqahum fa inn allah saailahum ‘amma istar’ahum”. [“….Berikanlah hak-hak mereka (rakyat), kerena sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban setiap penguasa perihal hak-hak rakyatnya (HR. Bukhari; 3196)].
Dalam hadits lain Rasulullah juga bersabda: “Maa min ‘abd yastar’iih allah ra’iyyah yamuut yauma yamuut wa huwa ghasy li ra’iyyatih illa harram allah ‘alaih al-jannah” [“ Tidak seorang manusia  yang diberi amanat untuk memimpin rakyat kemudian ia mati dalam keadaan mencurangi rakyat kecuali diharamkan kepadanya sorga” (HR.Muslim; 203)].

Sekali lagi, amat mendesak untuk diingatkan bahwa suatu pembacaan harfiah teks yang disusun hampir satu setengah milenium yang lalu akan menyesatkan ajaran agama. Misalnya, bila dikatakan pajak adalah bukan zakat, oleh karena itu tidak dilarang mengutip komisi atau mencuri dari hasil pungutan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agama menghalalkan penyelewengan dana yang diperoleh dari pemungutan pajak. Kalaupun pajak disamakan dengan zakat, maka itu hanya sekitar 12% dari anggaran belanja negara. Apakah itu kemudian dapat diartikan bahwa pejabat boleh saja mencuri uang dari 88% APBN?

Delapan Sasaran Uang Negara
Dalam pandangan Islam uang pajak adalah uang Allah SWT yang diamanatkan kepada negara untuk ditasarufkan sejujur-jujurnya sesuai petunjuk-Nya. Pajak harus dibelanjakan untuk kemaslahatan segenap rakyat. Yang harus diberi prioritas adalah kaum fakir dan miskin tanpa membedakan agama, ras ataupun suku, Allah SWT telah berfirman: “ Innama al-shodaqatat lil al-fuqaraa wal al-masaakin wa al-‘amilin ‘alaih wa al-muallafah quluubuhum wa fi al-riqaab wa al-ghorimin wa fi sabilillahwa aibn sabiil; faridlah min allah ‘aliim hakiim..” [ “Sungguh  segala macam sedekah (yang secara mengikat dipungut pemerintah, yakni “pajak” adalah untuk kepentingan: i) kaum fakir, ii) kaum miskin, iii) amilin pajak, iv) orang yang dalam proses penyadaran kembali, v) kaum tertindas, vi) yang tertindih utang, vii) kepentingan umum dan penegakan keadilan, viii) anak jalanan….sesuatu ketetapan dari Allah. Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana (At-Taubah: 60)].

Rasulullah SAW juga bersabda kepada Mu’adz bin Jabal selaku gubernur di Yaman: “A’limhum ann allah iftaradla ‘alaihim shadaqat tu-khadz min aghniyaa-ihim fa turadd li fuqaraaihim…” [Beritahukan kepada rakyat bahwa Allah mewajibkan sedekah (zakat.pajak) yang diambil dari mereka yang mampu untuk diberikan kepada mereka yang tidak mampu (fuqara, sebagai prioritas)…”(HR. Muslim)].

Tentunya, konsep ashnaf delapan tersebut harus didefenisikan kembali cakupan dan wilayahnya sesuai dengan kondisi masyarakat yang terus berkembang. Definisi asnaf delapan yang dirumuskan berdasarkan pengalaman empirik zaman Nabi 24 abad yang lalu tentunya tidak lagi sepenuhnya memadai dengan kompleksitas sosial yang ada di hari ini.

Pemerintah dan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR/DPRD secara moral keagamaan harus mengacukan penganggaran belanja negara dalam APBN/APBD pada asnaf delapan di atas dengan definisi dan cakupan yang disesuaikan (dikontekstualkan) dengan situasi dan kondisi  masyarakat yang terus berkembang. Dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan modern dewasa ini asnaf delapan dapat dijabarkan demikian:

Fuqara (kaum fakir); rakyat papa dengan penghasilan jauh dari kebutuhan. Pengentasan kemiskinan ini harus menjadi prioritas utama penganggaran negara/pemerintah baik yang bersifat konsumtif (jaminan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan) maupun yang produktif untuk meningkatkan tingkat sosial ekonomi mereka selanjutnya.

Masakin (kaum miskin); orang-orang yang penghasilannya sedikit lebih baik daripada kaum fakir tapi masih di bawah kebutuhan wajar. Penganggarannya bisa seperti fuqara, konsumtif dan terutama produktif.

Amilin, yakni kebutuhan rutin (gaji operasional) departemen keuangan dan aparat departemen teknis sebagai pemasok barang-barang publik (public goods).

Mu’allaf Qulubuhum (orang-orang yang tengah dijinakkan hatinya). Dalam konteks negara-kebangsaan, sektor ini diarahkan pada program rehabilitas sosial terhadap para narapidana, para pengguna obat-obat terlarang (narkoba), atau masyarakat terasing yang masih hidup di hutan-hutan.

Riqab (budak); yakni upaya pembebasan masyarakat tertindas, seperti kaum buruh yang teraniaya, atau masyarakat terjajah yang tengah berjuang memerdekakan dirinya.

Gharimin (yang terbelit utang); dana untuk sektor ini dapat dialokasikan untuk, misalnya, membebaskan utang para petani yang terkena puso atau pedagang yang bangkrut karena faktor-faktor yang benar-benar berada di luar kemampuan mereka.

Sabilillah (kemaslahatan umum); baik yang fisik (misalnya jalan, bangunan-bangunan publik, dan semua sarana umum yang diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak) maupun yang nonfisik ( biaya pertahanan-keamanan negara/rakyat, ketertiban masyarakat; penegakan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan-seni-kebudayaan, dan semua sektor yang kemaslahatannya kembali pada kepentingan umat manusia).

Ibnu Sabil (anak jalanan); dulu yang dimaksud adalah musafir yang kehabisan bekal; untuk konteks sekarang mereka adalah para pengungsi, baik karena bencana alam atau bencana politik.

Kewajiban Kontrol Sosial
Seluruh  rakyat, langsung maupun melalui wakil-wakilnya, para ulama dan pemukanya wajib melakukan kontrol sosial (amar ma’ruf dan nahi munkar) secara terus-menerus. Pengawasan ini wajib dilakukan di semua tingkat, dari desa sampai kota, agar tidak serupiah pun uang pajak –yang merupakan uang Allah/rakyat– diselewengkan untuk kepentingan pribadi penguasa atau disalahgunakan untuk hal-hal yang  merugikan rakyat dan melawan tuntutan keadilan.

Rasulullah SAW bersabda: “Man ra-aa minkum munkar fal yughayyirhu bi yadih, wa in lam yastathi’ fa bi lisaanih wa in lam yastathi’ fabi qalbih, fa dzaalika adl’af al-imaan” [“Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangan; jika tidak mampu, dengan lisan; jika tidak juga mampu, dengan hati. Posisi akhir itulah selemah-lemah iman (HR. Bukhari Muslim)].

Dalam kitab Adab al- Dunya wa al-dien al-Mawarariy dikatakan: “la tazal ummatiy fi khair tahta yad allah wa fii kanfih maa lam yumaal qurraa-uha umaraa-aha, wa lam yuzakk shulahaa-uha fujjara, wa lam yumaari akhyaaraha asyraaraha; fa idzaa fa’aluu dzaalik rafa’a ‘anhum yadah tsumma sallath ‘alaihim jabaabiratah, fasaa-a hum suu al-‘al adzab wa dlarabahum bi al- faaqah fa al-faqr wa mala-a qulubahum ru’ba.” [“Umat ini senantiasa dalam kebaikan  di bawah tangan Allah dan perlindungan-Nya selama para ulamanya tidak condong pada penguasanya,  yang saleh tidak menjustifikasi yang korup, dan yang baik tidak hanya mengiyakan yang culas. Jika hal itu terjadi tangan Allah akan segera ditarik dari atas mereka kemudian dikuasakan atas mereka penguasa yang angkara murka, lalu ditimpakan atas mereka siksa yang buruk, dan mereka akan didera kelaparan dan kafakiran serta hati mereka pun penuh rasa ketakutan.”]

Demikianlah pesan moral yang diamanatkan oleh Islam dalam konsepsinya tentang zakat. Amanat ini akan mudah terpungkiri apabila tidak dibatinkan dalam kesadaran setiap warga negara beriman. Hendaknya ia menggugah rasa tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkan tata kehidupan bernegara yang melindungi hak-hak semua warga, terutama yang paling lemah, tanpa diskriminasi atas dasar  suku, ras, agama maupun kelamin. Di situlah letak misi utama Islam bila benar-benar berniat menebarkan rahmat kesemestaan-Nya.

Pada akhirnya kita semua tahu betapa kompleksnya kehidupan manusia dan perbuatannya. Tidak ada teori tunggal yang dapat mengungkap hakikat tindakannya, juga praktek korupsi yang marak dalam kehidupan masyarakat kita. Juga tidak ada satu resep untuk mengobati dan menyembuhkannya. Berbagai jalan harus ditempuh dengan penuh kesadaran bahwa satu dan yang lain saling melengkapi dan memerlukan. Yang paling penting, di atas segalanya, adalah kesungguhan mengikhtiarkannya.

Walladziina jahadu fiina lanahdiyannahum subulana; wa annalloha la ma’al muhsinin– hanya mereka yang sungguh-sungguh, yang akan kami tunjukkan  jalannya, dan Allah akan selalu menyertai orang-orang yang berbuat kebajikan (Al-Ankabut: 69).












Tidak ada komentar:

Posting Komentar