Berbeda dengan birokrat, tantangan terrbesar bagi insan penegak hukum bukan berupa godaan untuk melakukan tindak pidana berupa korupsi, meski peluang untuk itu tetap ada. Penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim dihadapkan pada tantangan yang terkadang sulit dihindarkan dalam melaksanakan tugas keseharian mereka.
Tantangan itu adalah monster suap dan pemerasan. Monster suap akan muncul jika berhadapan dengan klien yang “ gemuk “ dan dalam posisi bersalah atau merasa khawatir dibuat menjadi bersalah atau kalah. Sementara monster pemerasan merupakan langkah berikutnya manakala suap gagal diterima, kegagalan ini bisa terjadi bila berhadapan dengan klien yang kurang mampu untuk memberikan upeti berupa suap atau nominal suap yang diberikan klien kurang memenuhi standar berdasarkan harapan para oknum hakim,
Tidak mudah memang bagi seorang hakim untuk mampu menghidar dari dominasi budaya suap, karena praktek suap menyuap sudah berurat akar di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya di Indonesia bahkan sudah menjadi wabah yang mendunia ribuan tahun. Hanya para penegak hukum yang bermental baja dan siap hidup sederhanalah yang bisa tetap melaksanakan karir dengan tanpa keterlibatan pada praktek suap dan pemerasan
Mereka para oknum hakim yang menyimpang, yang telah menyalahi kewenangannya dengan melakukan tindakan pememerasan dan menerima suap dari mereka yang tersandung persoalan hokum, bukan saja menghancurkan citranya secara pribadi bahkan lebih jauh lagi telah mewluluh lantakkan citra institusi penegak hukum itu sendiri
Jika dalam melaksanakan praktek suap dan pemerasan, oknum hakim dibantu oleh para oknum penegak hokum lainnya seperti oknum polisi dan oknum jaksa maka akan melahirkan produk berupa mafia peradilan, dengan pelaku tiga sekawanan oknum , Panitera, Pengacara dan Hakim
Malpraktek peradilan berupa suap dan pemerasan dengan terang benderang merupakan tindakan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial No. 02/SKB/P.KY/IV/2009. Dalam SKB tersebut dijelaskan bahwa Hakim dan keluarganya tidak boleh meminta/menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari orang yang sedang diadili.
Fenomena suap menyuap yang terkadang ditindak lanjuti dengan praktek pemerasan di lingkungan institusi peradilan di negeri ini adalah merupakan hal yang sudah diakui dan dibenarkan oleh sejumlah masyarakat. Karena fenomena tersebut sudah berlangsung cukup lama, maka telah berhasil membangun dan membentuk image tersendiri.
Kini. fenomena tersebut tidak lagi disebut suap menyuaap tetapi sudah bermetamorfosa menjadi mafia peradilan. Kegiatan mafia yang telah disejajarkan dengan mafia peredaran obat bius, mafia perdagangan manusia, mafia perdagangan senjata gelap dan sederetan mafia mafia lainnya.
Pantas, Rasulullah SAW empat belas abad silam jauh-jauh hari telah mewanti-wanti tentang beratnya hukuman bagi pelaku suap. Tanpa kompromi, kedua pelaku suap, baik yang memberi maupun penerima suap masuk neraka tanpa di potong tahanan dan tindak mendapat remisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar